KEPERAWATAN BENCANA (SUPPLEMENT)



BAB  1

Konsep dasar Bencana

 

Yuyud Wahyudi 

 

 

Pendahuluan 

Kompleksnya definisi dan konsep – konsep dasar tentang bencana wajib dikuasai oleh siapapun yang berkecimpung didalamnya, termasuk tenaga kesehatan secara umum dan khususnya perawat. Hal ini penting untuk digaris bawahi mengingat bencana dapat terjadi dimana saja, kapan saja tanpa, dan menimpa siapa saja pandang bulu.

Pemahaman tentang istilah – istilah dasar terkait definisi, jenis bencana, serta dampak dari bencana itu sendiri wajib diketahui dan dipahami. Hal ini menjadi penting karena dengan memahami konsep – konsep dasar tersebut maka akan sangat membantu dalam menentukan langkah selanjutnya.

Untuk menunjang tujuan tersebut diatas maka pada Bab 1 ini akan dibahas tentang konsep – konsep dasar umum dalam kebencanaan seperti definisi – definisi bencana, jenis – jenis bencana serta dampak bencana secara umum yang timbul akibat kejadian bencana.

Pada akhir pembelajaran pada Bab 1, pembelajar diharapkan akan mampu menjelaskan dan memahami tentang :

1. Definisi bencana

2. Jenis – jenis bencana

3. Dampak dari bencana

 

 

 

 

 

A. Pengertian Bencana

 

Allender et al. (2014) mendefinisikan bencana sebagai “any natural or man-made  event that causes sa level of destruction or emotional trauma exceeding the abilities of those affected without community assistant”. Definisi lain mengartikan bencana sebagai suatu kejadian, yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan kerusakan lingkungan, kejadian ini terjadi di luar kemampuan masyarakat dengan segala sumberdayanya (UN-ISDR, 2002). Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam, dan mengganggu penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007).

Berdasarkan berbagai sumber diatas penulis mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

 

B. Jenis-jenis bencana 

Bencana apapun yang terjadi dapat dibedakan menurut karakteristiknya. Allender et al. (2014) membagi 2 macam karakteristik bencana yakni, bencana alam “Natural Disaster”, dan bencana yang diakibatkan oleh hasil perbuatan manusia “man-made disaster”. 

Sedangkan karakteristik atau jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, antara lain ; Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan aksi teror.

 

1. Bencana Alam

a. Gempa bumi

Adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.

 

b. Letusan gunung api

Merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.

 

c. Tsunami

Berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan (“tsu” berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.

 

d. Tanah longsor

Merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.

 

e. Banjir

Adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.

 

f. Banjir bandang

Adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.

 

g. Kekeringan 

Adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan.

h. Kebakaran 

Adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian.

 

i. Kebakaran hutan dan lahan

Adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.

 

j. Angin puting beliung

Adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).

k. Gelombang pasang atau badai

Adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.

 

l. Abrasi

Adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.

 

2. Bencana Non Alam

a. Kecelakaan transportasi

Adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di darat, laut dan udara.

b. Kecelakaan industri

Adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.

 

 

c. Kejadian Luar Biasa (KLB)

Adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.

 

 

d. Aksi Teror

Adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik internasional.

 

e. Sabotase

Adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui  subversi,  penghambatan,  pengacauan  dan/  atau penghancuran. Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur penting, seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.

 

3. Bencana Sosial

Bencana sosial dapat diartikan sebagai suatu gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).

 

C. Dampak bencana terhadap kehidupan dan kesehatan

Dampak bencana adalah akibat yang timbul dari kejadian bencana. Dampak bencana dapat berupa korban jiwa, luka, pengungsian, kerusakan pada infrakstruktur/ aset, lingkungan/ekosistem, harta benda, penghidupan, gangguan pada stabilitas sosial, ekonomi, politik, hasil pembangunan dan dampak lainnya yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. 

Dalam perspektif individu, Allender et al. (2014) mengkategorikan korban bencana menurut level keterlibatannya yakni : (1) orang yang terlibat secara langsung dalam kejadian bencana, baik kebakaran, erupsi gunung berapi, perang atau ledakan bom baik dalam keadaan meninggal, masih bertahan hidup, atau yang tidak mengalami cedera, (2) sanak saudara atau teman dari seseorang yang terkena dampak langsung dari kejadian bencana. Meskipun pada kategori ini seseorang tidak mengalami dampak langsung akibat bencana, tetapi seringkali mengalami penderitaan akibat kehilangan maupun cemas saat melakukan proses pencarian korban.

Secara lebih luas menurut Bensoon dan Clay (2004) yang dikutip Supriyatna (2011), dampak bencana dibagi 3 (tiga) antara lain; (1) dampak langsung, meliputi kerugian finansial dari kerusakan asset ekonomi, misalnya rusaknya bangunan seperti tempat tinggal dan tempat usaha, infrastruktur, lahan pertanian dan sebagainya. (2) dampak tidak langsung, meliputi berhentinya proses produksi, hilangnya output dan sumber penghasilan. (3) dampak sekunder atau dampak lanjutan (secondary impact). Contoh: terhambatnya pertumbuhan ekonomi, terganggunya rencana pembangunan yang telah disusun, meningkatnya defisit neraca pembayaran, meningkatnya angka kemiskinan dan lain-lain.

Minami & Young-Soo (2009) menjelaskan bahwa bagaimanapun bencana didefinisikan baik bencana alam maupun non alam, kondisi bencana akan menimbulkan serangkaian gangguan infrastruktur yang ada dimasyarakat yakni air, sistem transportasi, sistem komunikasi, sumberdaya listrik, sistem pelayanan kesehatan di masayarakat, serta ketidaksatabilan perekonomian yang ada dan berlangsung dimasyarakat.

Bencana juga akan mengganggu sistem pelayanan yang ada seperti sistem pelayanan sosial, pelayanan di kesehatan dan kegawatdaruratan di rumah sakit, pelayanan di kepolisian dan lain sebagainya.  Bagi sebagaian besar orang yang terdampak bencana akan mengalami kehilangan lapangan pekerjaan yang menyebabkan stabilitas kehidupan kesehatan dan ekonomi  keluarga juga akan terganggu.

Masyarakat mungkin membutuhkan bertahun – tahun untuk dapat memulihkan keadaan setelah mengalami bencana. Pada kasus lain, masyarakat tidak pernah kembali kepada keadaan seperti sebelum mengalami bencana khususnya bagi masyarakat pada golongan ekonomi lemah. Kejadian bencana membawa dapat mengakibatkan kerugian secara fisik maupun psikologis. Dari berbagai pengalaman akan kejadian bencana, inetervensi yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk membantu mengatasi gangguan fisik dan psikis yang terjadi. Keterlambatan atau kegagalan dalam memberikan intervensi yang dibutuhakan akan menyebabkan gangguan fisik maupun psikis / mental pada jangka panjang. 

 

 

 

Latihan

1. Apakah yang dimaksud dengan bencana?

2. Sebutksn jenis-jenis bencana!

3. Jelaskan dampak bencana terhadap kehidupan dan kesehatan!

 

 

Ringkasan 

 

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Secara umum bencana dapat dibedakan menjadi bencana alam dan non alam.

Dampak bencana dapat berupa korban jiwa, luka, pengungsian, kerusakan pada infrakstruktur/ aset, lingkungan/ekosistem, harta benda, penghidupan, gangguan pada stabilitas sosial, ekonomi, politik, hasil pembangunan dan dampak lainnya yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

 








Bagian 2

 

Upaya Penanggulangan bencana

 

Yuyud Wahyudi 

 

 

A. Fase dalam kebencanaan 

Pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yakni bahwa penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. 

Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus penanggulangan bencana adalah sebagai berikut : 

1. Pra bencana yang meliputi:

a. situasi tidak terjadi bencana

b. situasi terdapat potensi bencana 

2. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana

3. Pasca bencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana

Tahapan bencana yang digambarkan di atas, sebaiknya tidak dipahami sebagai suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya adalah pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk mengantisipasi bencana yang akan datang. 

 

B. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana 

Bencana alam merupakan peristiwa luar biasa yang dapat menimbulkan penderitaan luar biasa pula bagi yang mengalaminya. Bahkan, bencana alam tertentu menimbulkan banyak korban cedera maupun meninggal dunia. Bencana alam juga tidak hanya menimbulkan luka atau cedera fisik, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis atau kejiwaan. Hilangnya harta benda dan nyawa dari orang-orang yang dicintainya, membuat sebagian korban bencana alam mengalami stress atau gangguan kejiwaan. Hal tersebut akan sangat berbahaya terutama bagi anak-anak yang dapat terganggu perkembangan jiwanya.

Mengingat dampak yang luar biasa tersebut, maka penanggulangan bencana alam harus dilakukan dengan menggunakan prinsip dan cara yang tepat. Selain itu, penanggulangan bencana alam juga harus menyeluruh tidak hanya pada saat terjadi bencana tetapi pencegahan sebelum terjadi bencana dan rehabilitasi serta rekonstruksi setelah terjadi bencana. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar bencana alam tidak terlalu banyak menimbulkan dampak buruk bagi korban bencana alam.

Penanggulangan bencana alam bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bencana alam dan dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, dalam penanggulangannya harus memperhatikan prinsip-prinsip penanggulangan bencana alam. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan sejumlah prinsip  penanggulangan yaitu cepat dan tepatYang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan berdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa.

1. Prioritas

Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

2. Koordinasi dan keterpaduan

Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.

 

3. Berdaya guna dan berhasil guna

Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga , dan biaya yang berlebihan.

4. Transparansi dan akuntabilitas

Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

5. Kemitraan

Penanggulangan bencana tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah dengan masyarakat secara luas, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Bahkan, kemitraan  juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar negeri termasuk dengan pemerintahnya.

 

6. Pemberdayaan

Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui, memahami dan melakukan langkah-langkah antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana. Negara memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengurangi dampak dari bencana.

 

7. Nondiskriminatif

Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.

 

8. Nonproletisi

Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan  pelayanan darurat bencana.

 

C. Sistem penanggulangan bencana terpadu 

1. Tahapan Penanggulangan Bencana Alam

Penanggulangan bencana adalah segala upaya kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, baik sebelum, pada saat maupun setelah bencana dan menghindarkan dari bencana yang terjadi. Berdasarkan pengertian tersebut, penangggulangan bencana tidak hanya pada saat dan setelah terjadinya bencana tetapi upaya pencegahan juga termasuk ke dalam kegiatan penanggulangan bencana. Karena itu, penanggulangan bencana dilakukan melalui beberapa tahapan. Secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan pada setiap tahapan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana. Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang spesifik pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana. 

 

 

a. Tahap pra-bencana 

Durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada besarnya jumlah korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra bencana. Dengan pertimbangan bahwa, yang pertama kali menolong saat terjadi bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus (first responder), maka masyarakat awam khusus perlu segera dilatih oleh pemerintah kabapaten kota. Latihan yang perlu diberikan kepada masyarakat awam khusus dapat berupa: Kemampuan minta tolong, kempuan menolong diri sendiri, menentukan arah evakuasi yang tepat, memberikan pertolongan serta melakukan transportasi. Tahap pra-bencana mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini.

 

 

b. Pencegahan (prevention)

Upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman. Misalnya : pembuatan bendungan untuk menghindari terjadinya banjir, biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit untuk menghindari banjir dsb. Namun perlu disadari bahwa pencegahan tidak bisa 100% efektif terhadap sebagian besar bencana.

 

c. Mitigasi (mitigation

Yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman. Misalnya : penataan kembali lahan desa agar terjadinya banjir tidak menimbulkan kerugian besar.

 

d. Kesiap-siagaan (preparedness

Yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi (atau kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.

 

1) Tahap tanggap darurat

Pada tahap tanggap darurat, hal paling pokok yang sebaiknya dilakukan adalah penyelamatan korban bencana. Inilah sasaran utama dari tahapan tanggap darurat. Selain itu, tahap tanggap darurat bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal.

Para korban juga perlu dibawa ke tempat sementara yang dianggap aman dan ditampung di tempat  penampungan  sementara yang layak. Pada tahap ini dilakukan pula pengaturan dan pembagian logistik atau bahan makanan yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana. Secara operasional, pada tahap tanggap darurat ini diarahkan pada kegiatan:

a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur korban meninggal dan menangani korban yang luka-luka.

b. Penanganan pengungsi

c. Pemberian bantuan darurat

d. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih

e. Penyiapan penampungan sementara pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara serta memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban

 

2) Tahap Rehabilitasi

Dalam tahap rehabilitasi, upaya yang dilakukan adalah perbaikan fisik dan non fisik serta pemberdayaan dan pengembalian harkat korban. Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan.

Sasaran utama dari tahap rehabilitasi adalah untuk memperbaiki pelayanan masyarakat atau publik sampai pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek kejiwaan/psikologis melalui penanganan trauma korban bencana.

 

3) Tahap Rekonstruksi

Upaya yang dilakukan pada tahap rekonstruksi adalah pembangunan kembali sarana, prasarana serta fasilitas umum yang rusak dengan tujuan agar kehidupan masyarakat kembali berjalan normal. Biasanya melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali masyarakat dan kawasan. Pendekatan pada tahap ini sedapat mungkin juga melibatkan masyarakat dalam setiap proses.

 

2. Perencanaan Penanggulangan Bencana

Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. Perencanaan penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan pembangunan. Setiap rencana yang dihasilkan dalam perencanaan ini merupakan program/kegiatan yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Rencana penanggulangan bencana ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Di Indonesia, Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh:

1) BNPB untuk tingkat nasional; 

2) BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan

3) BPBD kabupaten/kota untuk tingkat kabupaten/kota. 

Rencana penanggulangan bencana ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana dengan melibatkan peran aktif berbagai sektor yang ada. 

 

A. Ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana

1. Upaya menciptakan masyarakat tangguh bencana melalui pemberdayaan masyarkat

Seiring banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia, wacana untuk membangun ketangguhan masyarakat mulai menarik untuk didiskusikan baik oleh organisasi internasional, LSM lokal, dunia pendidikan dan juga pemerintah, banyak juga pihak yang tanpa disadari sudah membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana, misalnya upaya kesiapsiagaan, meningkatkan keterampilan, mitigasi ancaman.Tetapi, dalam upaya berpartisipasi dalam membangun ketangguhan masyarakat, para pelaku menerjemahkannya dengan berbagai macam kriteria dan indicator masing-masing. 

John Twigg (2009) menyebutkan bahwa sistem atau ketangguhan masyarakat dapat dipahami sebagai kapasitas untuk: (a) mengantisipasi, meminimalisasi, dan menyerap potensi stres atau kekuatan destruktif melalui adaptasi atau resistensi, (b) mengelola, atau menjaga fungsi dan struktur dasar tertentu, selama peristiwa bencana, dan (c) memulihkan atau ‘melambungkan balik’ setelah sebuah peristiwa bencana. Berdasarkan ketiga kapasitas diatas, menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat sendiri bisa membangun kapasitasnya untuk mencapai ketangguhan? Hal tersebut akan tergantung dengan kondisi masyarakat setempat termasuk kearifan lokal. 

Karena itu, usaha untuk membangun suatu ketangguhan masyarakat dibutuhkan kerjasama antar berbagai pihak dengan masyarakat setempat. “Ketangguhan dapat dicapai dalam sebuah sistem (ekonomi, infrastruktur, ekologi, sosial) yang memasukkan berbagai kegiatan, interaksi, dan hubungan” (IFRC, 2012). 

Walaupun, kenyataannya di masyarakat, upaya-upaya pengembangan ketangguhan masyarakat tidak mudah untuk diintegrasikan, karena terjadinya perbedaan pandangan dan pendekatan yang digunakan oleh berbagai pihak. Hal ini dipengaruhi oleh relasi kuasa, politik, sistem sosial, dan para pelaku yang ada di sana (Heijmans, 2012). Pada konteks Indonesia, sudah ada cukup banyak inisiatif-inisiatif untuk membangun ketangguhan masyarakat yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga negara, lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat di tingkat lokal maupun nasional, perguruan tinggi, dan lembaga usaha. 

Pengembangan ketangguhan dilaksanakan melalui pendekatan disiplin dan sektor yang menjadi mandat dan kapasitas masing-masing pihak. Beberapa contoh program terkait dengan pengembangan ketangguhan ialah program Desa Siaga Bencana yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, program Desa Pesisir Tangguh dari Kementeran Kelautan dan Perikanan, program Desa Mandiri Pangan dari Kementerian Pertanian, program Desa Siaga dari Kementerian Kesehatan, program Safer Communities through Disaster Risk Reduction dari UNDP, program Pengurangan Risiko Terpadu berbasis Masyarakat dari Palang Merah Indonesia, program Building Resilience dari Oxfam, Desa Tangguh Bencana (Destana) dari BNPB,  dan masih banyak lagi. 

Beberapa program CSR yang dilaksanakan oleh lembaga usaha di desa-desa dampingannya juga sebagian sudah mulai mengadopsi konsep pemberdayaan masyarakat dan ketangguhan terhadap bencana. Dalam hal ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diberi mandate untuk melakukan koordinasi upaya-upaya penanggulangan bencana, termasuk dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat, menerbitkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Peraturan ini dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program berbagai pihak untuk membangun ketangguhan. Hal ini juga sesuai dengan amanat UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa bencana merupakan urusan bersama (semua pihak) dengan penekanan pada upaya pengurangan risiko bencana.

 

2. Landasan Ketangguhan yang Kokoh

Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), ciri-ciri ketangguhan yaitu, adanya pengetahuan tentang risiko, adanya rencana PRB dan kesiapsiagaan masyarakat, adanya dana masyarakat untuk melaksanakan kegiatan PRB, adanya sistem peringatan dini, dan adanya organisasi masyarakat yang dinamis. Hal Ini semua perlu didukung dengan adanya tenaga terlatih untuk pengkajian risiko, tenaga terlatih dalam pencarian dan penyelamatan (SAR), tenaga medis untuk pertolongan pertama, distribusi bantuan, para tukang untuk konstruksi yang lebih aman, dan petugas pemadam kebakaran. 

Selain itu, masyarakat yang tangguh juga perlu adanya dukungan infrastruktur dan fasilitas seperti jalur transportasi, jaringan listrik, jaringan telepon, dan klinik kesehatan yang baik, serta adanya koordinasi dengan pemerintah lokal, LSM, dan lembaga terkait lainnya. Keberadaan rumah warga yang aman bencana serta sumber-sumber penghidupan yang lebih aman juga mendukung ketangguhan masyarakat.

Rencana International memandang “ketangguhan” melalui lima aspek yakni tata kelola, pengkajian risiko, pengetahuan dan pendidikan, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, serta kesiapsiagaan dan tanggap bencana. Dalam aspek tata kelola, penting bila kelompok-kelompok rentan dan anggota masyarakat mempunyai akses terhadap kebijakan, regulasi, perencanaan, penganggaran dan pemantauan PRB, serta adanya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka dan adanya akses terhadap hukum. 

Tata kelola perlu didukung dengan adanya pengkajian dan pemetaan risiko partisipatif yang masukan ke dalam perencanaan pembangunan. Kesadaran masyarakat akan sistem peringatan dini, risiko dan strategi-strategi pengurangan risiko sangat dibutuhkan. Secara khusus masyarakat dikatakan tangguh menerapkan manajemen risiko dan pengurangan kerentanan serta kesiapsiagaan dan tanggap bencana secara memadai dengan menggunakan sumber daya internal yang ada.

Berbagai macam definisi dan konsep “ketangguhan” diatas sangat membingungkan, operasional “ketangguhan” dapat mudah dipahami melalui karakteristiknya. Sebuah masyarakat yang tangguh setidaknya memiliki: (1) kapasitas untuk mengantisipasi ancaman, (2) kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan yang menghancurkan, dengan mudah beradaptasi, (3) kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu dalam situasi bencana, dan (4) kapasitas untuk memulihkan diri atau daya lenting balik setelah suatu kejadian bencana. Namun, patut dicatat bahwa “ketangguhan” umumnya dipandang sebagai sesuatu yang lebih luas daripada “kapasitas” karena memiliki makna yang lebih tinggi daripada sekedar perilaku, strategi dan langkah-langkah manajemen risiko tertentu yang biasa dipahami sebagai kapasitas.

Suatu masyarakat dikatakan tangguh terhadap bencana harus dipandang sebagai suatu masyarakat dengan tingkat keamanan tinggi mampu merancang dan membangun dalam lingkungan yang berisiko, disamping itu juga mampu meminimalkan kerentanannya sendiri dengan memaksimalkan penerapan langkah-langkah PRB. Ketangguhan masyarakat dipengaruhi juga oleh kapasitas di luar masyarakat itu sendiri, terutama oleh layanan penanggulangan bencana, layanan sosial dan administratif, infrastruktur publik dan jaringan hubungan sosial-ekonomi dan politik dengan dunia yang lebih luas. Hampir semua masyarakat praktis tergantung pada penyedia layanan eksternal, oleh karena itu ketangguhan masyarakat sedikit banyak ditentukan juga oleh lingkungan luar yang mendukung.

Berdasarkan kerangka ketangguhan yang telah disusun oleh ADPC, Plan International dan Practical Action, Twigg (2007) menyusun ketangguhan dalam lima aspek dasar berikut unsur-unsurnya sebagai berikut:

 

 

a. Tata kelola

1) Kebijakan, perencanaan, prioritas-prioritas dan komitmen politik

2) Sistem-sistem hukum dan pengaturan

3) Pemaduan ke dalam kebijakan-kebijakan dan perencanaan pembangunan

4) Pemaduan ke dalam tanggap darurat dan pemulihan

5) Mekanisme-mekanisme, kapasitas dan struktur kelembagaan; pembagian tanggung jawab

6) Kemitraan

7) Akuntabilitas dan partisipasi masyarakat

 

b. Pengkajian risiko

1) Pengkajian dan data bahaya/risiko

2) Pengkajian dan data kerentanan dan dampak

3) Kapasitas ilmiah dan teknis serta inovasi

 

c. Pengetahuan dan pendidikan

1) Kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan public

2) Manajemen dan pertukaran informasi

3) Pendidikan dan pelatihan

4) Budaya, sikap, motivasi

5) Pembelajaran dan penelitian

 

d. Kesiapsiagaan dan tanggap bencana

1) Kapasitas kelembagaan dan koordinasi lintas sektor di komunitas

2) Mengembangkan sistem-sistem peringatan dini

3) Melakukan perencanaan kesiapsiagaan dan kontingensi bersama seluruh pihak di komunitas

4) Tanggap darurat dan pemulihan

 

Dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh, sebagai salah satu dari perwujudan visi ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana, Indonesia perlu menggunakan kerangka lengkap seperti diusulkan Twigg di atas. Sebagai langkah dasar dalam membangun ketangguhan, perlu dilakukan pengkajian risiko dengan segala kelengkapannya. Pengetahuan dan kompetensi masyarakat juga perlu ditingkatkan secara terus-menerus, agar dapat merespons dengan cepat tantangan ancaman bencana dan perubahan iklim yang kian meningkat. Selanjutnya keseluruhan manajemen risiko perlu diterapkan untuk membangun kesiapsiagaan terhadap bencana dan kapasitas tanggap bencana yang memadai.

 

3. Ciri-ciri Masyarakat Tangguh Bencana

Di Indonesia yang selama ini dikembangkan ciri-ciri masyarakat tangguh menghadapi bencana, yaitu adanya :

a. Kemampuan untuk mengantisipasi setiap ancaman atau bahaya yang akan terjadi. 

Ditahap ini masyarakat dituntut mampu untuk melakukan prediksi, analisis, identifikasi dan kajian terhadap risiko bencana. Kemampuan ini memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang canggih maupun yang tepat guna. Juga dari pengetahuan yang modern hingga kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat.

b. Kemampuan untuk melawan atau menghindari ancaman bencana tersebut. 

Kemampuan untuk melawan ini sangat tergantung dari besarnya ancaman yang akan dihadapi oleh masyarakat. Apakah kemampuan sumber daya yang ada mampu menghadapi kekuatan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh suatu bencana.

c. Kemampuan untuk mengadaptasi bencana dan dampak yang ditimbulkan. 

Apabila masyarakat tidak mampu melawan ataupun menghindar, maka masyarakat harus mampu mengurangi, mengalihkan atau menerima risiko bencana yang akan terjadi. Prinsip-prinsip manajemen risiko berlaku untuk menanggulangi bencana. Upaya memperkecil dampak yang ditimbulkan atau mitigasi bencana, seperti membuat bangunan tahan gempa, membangun shelter vertikal, membuat jalur-jalur pengungsian dan sebagainya harus diterapkan. 

Pengalihan risiko atau risk transfer, seperti asuransi bencana mulai dibudayakan. Pada dasarnya mengadaptasi bencana ini bertujuan agar kemampuan masyarakat untuk menerima risiko semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan filosofi, hidup berdampingan secara damai dengan bencana.

 

d. Kemampuan untuk pulih kembali secara cepat setelah terjadi bencana. 

Ketangguhan suatu masyarakat dalam menanggulangi bencana dapat dilihat dari kemampuannya (daya lenting) untuk pulih kembali setelah ditimpa bencana. 

 

Alasan ketangguhan masyarakat sangat diperlukan sebab: (1), meski memberikan perlindungan kepada masyarakat merupakan kewajiban asasi pemerintah, namun pada kenyataannya pemerintah tidak selalu sanggup memenuhi kewajibannya tersebut dengan maksimal, bahkan dari pengalaman, justru partisipasi aktif masyarakat yang lebih berperan terutama pada saat terjadi bencana. 

Kesiapsiagaan masyarakat yang jadi korban bencana untuk menolong diri sendiri, atau warga terdekat memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan cukup membantu meminimalisasi korban dan kerugian. (2), besaran korban dan kerugian karena bencana dan dampak ikutannya selalu dalam jumlah yang tidak biasa (luar biasa). Proses pemulihannya selain membutuhkan biaya besar, tindakan radikal dan waktu panjang. Dan pasti akan semakin sulit jika hanya mengandalkan pemerintah, (3), saat ini hampir semua daerah di Indonesia masuk kategori rentan bencana, baik alamiah (natural disaster) maupun karena perilaku manusia (man made disaster). Ancaman banjir, misalnya, kini telah menjadi masalah bagi semua kota di Indonesia Sementara ancaman tanah longsor dan kebakaran hutan juga kian meluas di berbagai daerah, (4), pemerintah cenderung mengabaikan aspek penguatan manusia dan masyarakat agar siap menghadapi bencana. 

Pada umumnya yang jadi fokus perhatian lebih kepada aspek struktur (perbaikan tanggul, normalisasi sungai, dan sebagainya) sedangkan non-struktur terlupakan. (5) penguatan masyarakat menghadapi bencana atau situasi darurat telah memiliki payung hukum dan merupakan amanat konstitusi dan undang-undang, yakni UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan visi program penanggulangan bencana di Indonesia. Juga sesuai strategi PBB dalam pengurangan bencana dan Kerangka Aksi Hyogo, yaitu ”Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters”. Atas dasar ini, maka penguatan masyarakat tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah, melainkan kewajiban seluruh warga negara. (6), pengalaman empiris proses pemulihan dampak bencana bisa lebih cepat, jika sebelum kejadian masyarakat telah siap dengan mendayagunakan modalitas sosial yang mereka miliki. Modalitas sosial (social capital) yakni semangat gotong royong, toleransi dan kepercayaan sosial (social trust) dapat mempercepat proses rekonstruksi, restorasi, rehabilitasi pasca kejadian. 

 

Latihan

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan tepat!

1. Jelaskan tentang fase dalam kebencanaan!

2. Jelaskan bagaimana sistem penanggulangan bencana terpadu!

3. Sebutkan lima aspek dasar ketangguhan beserta unsur-unsurnya!

4. Sebutkan ciri-ciri masyarakat yang tangguh bencana!

 

Bagian 3

Peran Tenaga Kesehatan 

dalam Kebencanaan

 

Yuyud Wahyudi

 

A. Peran tenaga kesehatan dalam penanggulangan bencana

WHO mengamanatkan bahwa Tenaga kesehatan khususnya perawat adalah salah satu profesi pelayanan kesehatan di garis terdepan dengan jumlah anggota terbesar diantara profesi lainnya. (WHO, 2006). Peran tradisional tenaga kesehatan yakni hanya berperan dalam kegawatdaruratan bencana sudah harus dlitinggalkan dengan melebarkan peran dan fungsi tenaga kesehatan dalam seluruh fase bencana dengan berbagai program kapasitas masyarakat terutama dalam persiapan dan mitigasi bencana (WHO, 2011). 

Di Indonesia sendiri peran tenaga kesehatan sebenarnya sudah diperjelas perannya di dalam Permenkes Nomor 64 tahun 2014 tentang krisis kesehatan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan peran tenaga kesehatan dalam penanggulangan krisis kesehatan dalam seluruh fase bencana di Indonesia. Namun pada kenyataannya belum sepenuhnya peraturan tersebut diakomodir oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan  pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Demikian, kajian dan telaah lebih lanjut dalam hal ini sangatlah diperlukan 

Berdasarkan penjelasan diatas seharusnya peran dan fungsi tenaga kesehatan seharusnya dapat dioptimalkan dalam semua fase bencana sehingga dampak dan akibat bencana dapat diminimalisir (Gebbie & Merrill, 2002; Minami&Young-Soo, 2009; Ahayalimudin et al., 2014), terlebih membantu mewujudkan ketangguhan masyarakat terhadap ancaman bencana (Nuntaboot, 2013), karena tenaga kesehatan mempunyai posisi yang sangat strategis dalam upaya ketangguhan masyarakat terhadap bencana (Burnock, 2014). 

Dari berbagai kajian ilmiah menyebutkan bahwa kompetensi tenaga kesehatan harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk dapat mendampingi masyarakat dalam menghadapi bencana (Gebbie & Merrill, 2002; William &  Terney, 2007; Stanley, 2005; Ahayalimudin et al., 2014; Vogt & Kulbok, 2008; Ogedegbe et al., 2012; Nicholls et al., 2015) dan krisis darurat bencana (Christian et al., 2005).), melalui berbagai kegiatan guna meningkatkan pengetahuan, skill dan persiapan dalam penanggulangan bencana (Usher et al., 2015). Hal ini sangat diperlukan mengingat tenaga kesehatan merupakan bagian yang cukup vital dari suatu sistem kesehatan, dimana juga merupakan salah satu komponen dari ketangguhan terhadap bencana di masyarakat (Patel et al., 2017; Nuntaboot, K., 2013).

Berikut ini adalah peran yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam setiap fase bencana, yakni :

1. Peran tenaga kesehatan pada tahap Pra Bencana (Pra Disaster):

a. Tenaga kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang berhubungan dengan penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya.

b. Tenaga kesehatan ikut terlibat serta berkolaborasi dengan berbagai dinas pemerintah, organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun lembagalembaga kemasyarakatan dalam memberikan kapasitas penanggulangan bencana kepada seluruh element masyarakat.

c. Berpartsipasi dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan kerjasama lintas sektoral guna perencanaan akan pemenuhan kebutuhan kesehatan dalam penanggulangan bencana 

d. Tenaga kesehatan terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal-hal berikut ini:

1) Usaha pertolongan diri sendiri ketika ada bencana

2) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga yang lain

3) Tenaga kesehatan dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulance

 

 

 

 

2. Peran tenaga kesehatan pada tahap Bencana (Impact):

a. Bertindak cepat

b. Do not promise, tenaga kesehatan seharusnya tidak menjanjikan apapun secara pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban selamat

c. Berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dilakukan

d. Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan untuk setiap kelompok yang menanggulangi terjadinya bencana

 

3. Peran tenaga kesehatan pada tahap Emergency:

a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari

b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan ketenaga kesehatan harian

c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan kesehatan di RS

d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian

e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatan

f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya.

g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)

h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.

i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater

j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.

 

 

4. Peran tenaga kesehatan pada tahap Rekonstruksi:

a. tenaga kesehatanan pada pasien post traumatic stress disorder (PTSD)

b. tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerjasama dengan unsur lintas sector menangani masalah kesehatan masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (Recovery) menuju keadaan sehat dan aman

 

Latihan

1. Jelaskan peran tenaga kesehatan pada tahap pra bencana!

2. Jelaskan peran tenaga kesehatan pada tahap bencana!

3. Jelaskan peran tenaga kesehatan pada tahap emergency!

4. Jelaskan peran tenaga kesehatan pada tahap rekonstruksi!

 

 

 

Bagian 4

Peran dan Kompetensi Perawat dalam Upaya Penanggulangan Bencana

 

Yuyud Wahyudi

 

A. Peran perawat dalam upaya penanggulangan bencana

Secara umum perawat adalah kelompok tenaga kesehatan dengan jumlah terbesar yang tersedia dan mempunyai kemampuan dasar umum yang dapat diaplikasikan dalam berbagai macam kondisi dan situasi bencana (ICN, 2009). Perawat, sebagai anggota tim, mempunyai peran strategis dalam bekerjasama dengan berbagai bidang dari berbagai macam disiplin seperti kesehatan, sosial, bidang pemerintahan, kelompok di masyarakat, organisasi swasta dan lain sebagainya (ICN, 2009). 

Peran perawat dalam penanggulangan bencana seringkali hanya pada saat kejadian bencana, yakni saat dimana upaya penyelamatan jiwa dan mempertahankan kondisi kesehatan adalah menjadi prioritas utama (ICN, 2009). Akan tetapi, perawat seharusnya ikut andil mulai dari proses persiapan sampai dengan rehabilitasi jangka panjang untuk memepertahankan derajat kesehatan.

Perawat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki mempunyai tanggung jawab untuk mendampingi masyarakat baik yang sehat maupun sakit dalam semua situasi baik dalam situasi normal, gawat darurat maupun dalam keadaan bencana (Putra et al., 2011). Perawat juga mempunyai peran meningkatkan kredibilitas profesi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sebelum dan setelah terjadi bencana (Fung et al., 2008), pemikiran tersebut sangatlah penting untuk dimiliki mengingat dampak serius kejadian bencana terhadap perubahan kesehatan masyarakat dan system kesehatan yang ada (Vogt & Kulbok, 2008). 

Perawat mempunyai peran yang vital dalam mengatur, mendampingi, dan mengalokasikan perawatan selama proses bencana (Cole, 2005), untuk membantu mengurangi dampak buruk dari suatu bencana (Putra et al, 2011).Untuk itu perawat harus memahami perannya setiap fase bencana serta tindak lanjut yang harus dilakukan. Adapun peran yang perawat kesehatan masyarakat dalam setiap fase bencana adalah sebagai berikut:

1. Peran perawat dalam fase preparedness

Pada fase ini, perawat harus mampu mengidentifikasi resiko dari suatu bencana terhadap suatu populasi, khususnya terhadap kelompok rentan bekerjasama dengan sektor lainnya dalama menyusun perencanaan guna menurunkan angka kecacatan dan kematian, serta memberikan sumbangsih dalam penyusunan peraturan dan kebijakan untuk menurunkan efek potensial dari suatu bencana (Vogt & Kulbok, 2008). 

Perawat kesehatan harus memiliki pemahaman yang baik terhadap istilah-istilah penting, konsep, dan perannya dalam fase preparedness, mengetahui organisasi kesehatan yang terlibat dan mengetahui peralatan-peralatan yang digunakan dalam kebencanaan (Polivka et al., 2008). Sehingga peran perawat dalam fase preparedness adalah sangat penting dalam menentukan kesuksesan dalam fase-fase berikutnya (Rowney & Barton, 2005).

 

2. Peran perawat kesehatan dalam fase response

Pada fase ini, perawat mempunyai peran dalam memberikan peringatan, melakukan mobilisasi, evakuasi, melakukan pengkajian kebutuhan serta mengkomunikasikan hasil temuan kepada departemen terkait untuk kemudian memberikan pertolongan kepada korban dalam keadaan darurat (Putra et al., 2011; Vogt & Kulbok, 2008). Fokus pada fase ini adalah melakukan upaya penyelamatan korban sebanyak mungkin (Davies, 2005).

Aktifitas yang dilakukan oleh perawat pada fase ini meliputi, Rapid Health assessment (RHA), pertolongan pertama dan memberikan pengobatan dalam kondisi darurat, mencegah kecacatan dan membantu penyediaan air bersih dan suplai makanan, membantu penyediaan sarana komunikasi dan transportasi, pengawasan terhadap penyakit infeksi, gangguan mental dan psikososial baik individu, keluarga, maupun masyarakat, pengkajian keamanan dilokasi pengungsian dan evakuasi korban dari daerah bencana (Polivka et al., 2008; Vogt & Kulbok, 2008)

 

3. Peran perawat kesehatan masyarakat dalam fase recovery

Fase ini bertujuan untuk mengembalikan system kesehatan masyarakat pada kondisi seperti sebelum terjadi bencana, terlebih untuk membantu mempersiapkan segala sesuatu di komunitas untuk penanganan kebencanaan pada masa yang akan datang (Davies, 2005). Pada fase ini peran dan tanggung jawab perawat adalah menyediakan pelayanan keperawatan dan kesehatan berkelanjutan bagi korban yang merupakan focus utama setelah kejadian bencana (Voght & Kulbok, 2008). 

Selain itu, evaluasi terhadap penatalaksanaan bencana, penataan kembali hasil berdasarkan hasil evaluasi bersama tim dari disiplin ilmu yang lain untuk manajemen kebencanaan selanjutnya (Polivka et al., 2008). Selanjutnya, karena tiap fase dari suatu bencana mempunyai keterkaitan satu sama lain maka sangatlah penting bagi perawat untuk memahami peran dalam setip fase serta senantiasa meningkatkan kompetensi dan pengetahuan dalam penanganan dan manajemen bencana (Putra et al., 2011).

 

B. Kompetensi perawat dalam penanggulangan bencana 

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2005) menguraikan kompetensi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan didasari oleh pengetahuam, ketrampilan dan sikap sesuai dengan petunjuk kerja yang di tetapkan serta dapat terobservasi. Kompetensi perawat merefleksikan atas kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh individu yang akan bekerja di bidang pelayanan keperawatan (PPNI Indonesia, 2005). Kompetensi perawat terdiri dari kompetensi teknis dan kompetensi perilaku. Seseorang dikatakan memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya, apabila dapat memanfaatkan secara optimal kedua komponen utama kompetensi tersebutMenurut International Council of Nurses (ICN), dalam upaya penanggulangan bencana perawat diharapkan dapat menunjukkan kompetensi dalam empat bidang yakni kompetensi mitigasi/pencegahan,  kompetensi kesiapsiagaan,  kompetensi respon, dan kompetensi pemulihan/rehabilitasi. 

Keempat bidang tersebut terdapat dalam 10 domain yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Pengurangan risiko, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan;

a. Pengurangan resiko dan pencegahan penyakit 

Tindakan yang dapat dilakukan dalam pengurangan resiko dan pencegahan penyakit dalam penanggulangan bencana adalah:

1) Menggunakan data epidemiologi mengevaluasi risiko dan dampak dari bencana tertentu terhadap masyarakat dan populasi dan menentukan tindakan keperawatan yang dapat dilakukan.

2) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat dan pemerintahan untuk menentukan tahap pengurangan risiko bencana dan mengurangi kerentanan pada populasi di daerah bencana.

3) Berperan serta dalam menentukan intervensi keperawatan yang dapat dilakukan saat terjadi bencana. 

4) Mengidentifikasi apa saja dampak yang akan terjadi pada system perawatan kesehatan serta bekerja sama dengan lintas sector untuk mengurangi dampak tersebut. 

5) Mengidentifikasi populasi rentan (bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, lansia, dan disabilitas).

6) Memahami prinsip dan proses penatalaksanaan bagi korban terdampak bencana. 

7) Berkolaborasi dengan organisasi dan pemerintah untuk membangun kapasitas masyarakat untuk mempersiapkan dan merespons bencana.

 

b. Promosi kesehatan 

Green dan Kreuter (2005) menyatakan bahwa promosi kesehatan adalah kombinasi upaya-upaya pendidikan, kebijakan (politik), peraturan, dan organisasi untuk mendukung kegiatan-kegiatan dan kondisi-kondisi hidup yang menguntungkan kesehatan individu, kelompok, atau komunitas. Upaya yang dapat dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah:

1) Berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi kepada masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana.

2) Melakukan analisis situasi di masyarakat untuk menentukan masalah kesehatan yang ada, prevalensi penyakit, penyakit kronis dan kecacatan dan sumber daya kesehatan yang di masyarakat.

3) Berkolaborasi dengan relawan dan masyarakat untuk menerapkan tindakan yang dapat mencegah timbulnya penyebaran penyakit lain akibat sanitasi air dan makanan.

4) Berperan serta dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat, misalnya imunisasi ataupun pengobatan secara massal.

5) Bekerja sama dengan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam kesiapsiagaan bencana.

 

 

 

 

 

2. Pengembangan dan perencanaan kebijakan

Hal yang dapat dilakukan setelah tindakan pengurangan risiko, pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan adalah:

a. Memahami tentang konsep bencana.

b. Menjelaskan fase-fase rangkaian penanggulangan bencana: pencegahan/mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan/rehabilitasi.

c. Menjelaskan peran pemerintah dan organisasi dalam perencanaan dan respon bencana.

d. Memahami mitigasi bencana di tempat kerja dan perannya saat terjadi bencana.

e. Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengembangan kebijakan terkait dengan kebencanaan baik saat fase pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.

f. Berkontribusi pada pengembangan, evaluasi dan modifikasi mitigasi bencana yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

g. Memastikan bahwa kebutuhan masyarakat rentan termasuk dalam mitigasi bencana (termasuk anak-anak, wanita, wanita hamil, individu penyandang cacat mental atau fisik, orang tua dan orang/orang rentan lainnya).

h. Menjelaskan peran perawat dalam kerja samanya dengan tim dan tenaga kesehatan yang lainnya.

 

3. Praktik etis, praktik hukum dan akuntabilitas;

a. Praktik etis

1) Berkolaborasi dengan lintas sektor untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai permasalahan etik yang mungkin muncul dalam upaya penanggulangan bencana.

2) Menerapkan kerangka etis yang yang telah menjadikan rujukan nasional untuk mendukung pengambilan keputusan dan penetapan prioritas penatalaksanaan tanggap bencana.

3) Menjaga privacy dalam kegiatan yang  komunikasi dan dokumentasi kebencanaan.

 

b. Praktik hukum

1) Menjalankan intervensi sesuai dengan hukum yang berlaku baik di desa/kelurahankabupatenprovinsi maupun nasional.

2) Memahami bagaimana undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan dampak bencana dan praktik keperawatan serta penanganan korban bencana.

3) Mengakui adanya peran hukum kesehatan masyarakat yang melindungi masyarakat bila terjadi bencana.

4) Memahami peran hukum dalam kejadian bencana dan kejadian darurat lainnya (misalnya keamanan, menjaga privacy dari individu).

5) Menjelaskan masalah hukum dan peraturan yang terkait dengan isu-isu seperti: bekerja sebagai sukarelawan; peran dan tanggung jawab relawan; meninggalkan pasien; adaptasi standar perawatan; peran dan tanggung jawab.

c. Akuntabilitas 

1) Menerima pertanggungjawaban dan tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan.

2) Mengajarkan dan mendelegasikan tindakan keperawatan kepada orang lain sesuai dengan praktik profesional, peraturan perundang-undangan dan situasi bencana yang berlaku.

3) Mengidentifikasi batasan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seseorang dalam bencana dan praktik keperawatan sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.

4) Menjalankan praktik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perawat dan praktik keperawatan.

5) Menerapkan peran perawat sebagai advokat untuk penyediaan perawatan yang aman dan tepat.

 

4. Komunikasi dan informasi;

a. Menjelaskan bagaimana sistem koordinasi dan peran perawat dalam koordinasi tersebut.

b. Melakukan komunikasi terapeutik dengan tetap menghargai berbagai keragaman populasi dan budaya yang ada.

c. Mengidentifikasi dan memberikan informasi penting kepada pihak berwenang.

d. Mengkoordinasikan informasi dengan anggota tim tanggap bencana lainnya.

e. Memberikan informasi terbaru kepada tim penanggulangan bencana mengenai masalah perawatan kesehatan dan kebutuhan sumber daya.

f. Memahami proses pengelolaan sistem informasi kesehatan dalam suatu bencana.

g. Menunjukkan kemampuan untuk menggunakan peralatan komunikasi khusus, misalkan HT.

h. Mendokumentasi serta memberikan laporan sesuai kebutuhan.

i. Mengidentifikasi risiko kesehatan dan/atau sanitasi lingkungan dan menginformasikan ke petugas terkait.

 

5. Pendidikan dan kesiapsiagaan

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pengembangan pendidikan di bidang kebencanaan adalah sebagai berikut:

a. Mengembangkan pengetahuan di bidang yang relevan dengan keperawatan bencana.

b. Berperan serta dalam latihan kesiapsiagaan bencana di tempat kerja dan masyarakat.

c. Melakukan update ilmu keperawatan dan mengembangkan kemampuan dalam keperawatan bencana.

d. Melakukan penelitian di bidang kebencanaan.

e. Mengidentifikasi kebutuhan dan mengikuti pelatihan tambahan tentang kebencanaan.

f. Menjelaskan peran perawat dalam berbagai tugas bencana (misalnya tempat penampungan, tempat perawatan darurat, tempat perawatan kesehatan sementara, unit koordinasi dan manajemen bencana).

g. Menyiapkan tas siaga bencana (misalnya kartu identitas, pakaian yang sesuai, obat nyamuk, botol air).

h. Berperan serta dalam mengembangkan kapasitas tenaga keperawatan untuk membantu perawatan kesehatan saat situasi tangga darurat.

i. Mengevaluasi kesiapan masyarakat dan mengambil tindakan untuk meningkatkan kesiapan jika diperlukan.

 

6. Memberikan layanan keperawatan kepada masyarakat;

a. Menjelaskan fase respon masyarakat terhadap bencana dan implikasinya terhadap intervensi keperawatan.

b. Mengidentifikasi jumlah korban.

c. Mengidentifikasi kebutuhan kesehatan dan sumber daya yang tersedia di daerah bencana untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

d. Berkolaborasi dengan tim penanggulangan bencana untuk mengurangi bahaya dan risiko di daerah yang terkena dampak bencana.

e. Mampu mengendalikan situasi yang ada dan mennetukan prioritas tindakan yang harus segera dilakukan.

f. Berperan serta dalam memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar untuk masyarakat setempat (misalnya tempat berlindung, makanan, air, perawatan kesehatan).

g. Memfasilitasi pelatihan untuk masyarakat tentang keterlibatan kesehatan terhadap dampak dari sebuah bencana.

h. Mengevaluasi dampak intervensi keperawatan terhadap populasi dan budaya yang berbeda dan menggunakan hasil evaluasi untuk membuat keputusan berdasarkan bukti yang ada.

i. Mengelola sumber daya dan persediaan yang dibutuhkan untuk memberikan perawatan di masyarakat. 

 

7. Perawatan individu dan keluarga;

a. Penilaian

1) Melakukan penilaian cepat terhadap situasi bencana dan kebutuhan asuhan keperawatan.

2) Mengidentifikasi usia dan riwayat kesehatan serta respon fisik/psikologis dari individu/keluarga terhadap bencana.

3) Mengetahui gejala penyakit menular dan mengambil tindakan untuk mengurangi paparan terhadap individu yang lain.

4) Menggambarkan tanda dan gejala paparan zat kimia, biologi, radiologis, nuklir dan bahan peledak (bila ada).

5) Mengidentifikasi pengelompokan penyakit dan luka yang tidak lazim yang mengindikasikan adanya zat biologi atau zat lain yang terkait dengan dampak dari bencana.

6) Menentukan kebutuhan untuk dekontaminasi, isolasi atau karantina dan mengambil tindakan yang tepat. 

7) Mengetahui kebutuhan kesehatan fisk dan kesehatan mental individu serta membuat arahan yang tepat.

 

b. Implementasi

1) Mengimplementasikan intervensi keperawatan yang tepat termasuk perawatan darurat dan trauma sesuai dengan prinsip ilmiah yang berlaku.

2) Membuat ide inovatif dalam menciptakan solusi untuk pemberian asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan perawatan individu yang terdampak dari bencana.

3) Menerapkan prinsip triase yang berlaku saat membuat fasilitas perawatan berdasarkan situasi bencana dan sumber daya yang ada.

4) Menciptakan lingkungan perawatan pasien yang aman.

5) Menyiapkan sistem transportasi yang aman untuk pasien.

6) Menunjukkan pemberian obat, vaksin dan imunisasi yang aman.

7) Mengimplementasikan prinsip pengendalian infeksi untuk mencegah penyebaran penyakit.

8) Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan dan melakukan re-intervensi sesuai kebutuhan.

9) Memberikan perawatan sesuai dengan kebutuhan dan persetujuan pasien

10) Menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain di tempat terjadinya bencana

11) Dokumentasi perawatan sesuai dengan prosedur bencana.

12) Memberikan perawatan yang menghargai perbedaan budaya, sosial, dan spiritual.

13) Melakukan perawatan jenazah dengan cara yang menghormati kepercayaan budaya, sosial dan spiritual penduduk (jika situasi memungkinkan).

14) Melakukan perawatan kesehatan yang dilakukan oleh orang lain pada individu yang terdampak bencana

 

8. Perawatan psikologis;

a. Menjelaskan fase respon psikologis terhadap bencana dan respons perilaku yang diharapkan. 

b. Memahami dampak psikologis bencana pada orang dewasa, anak-anak, keluarga, populasi rentan dan masyarakat.

c. Memberikan dukungan psikologis yang tepat bagi korban bencana.

d. Menjalin hubungan terapeutik dalam situasi bencana baik dengan teman sejawat, individu, maupun masyarakat.

e. Mengidentifikasi respons perilaku individu terhadap bencana dan memberikan intervensi yang sesuai kebutuhan (misalnya bantuan pertama psikologis).

f. Membedakan antara respons adaptif dan respon maladaptif terhadap bencana.

g. Menerapkan intervensi perawatan kesehatan mental yang tepat dan memulai rujukan sesuai kebutuhan.

h. Mengidentifikasi strategi penanganan yang tepat untuk korban selamat, keluarga, dan masyarakat.

 

9. Merawat populasi rentan; dan

a. Menjelaskan populasi rentan yang berisiko akibat bencana (misalnya orang tua, wanita hamil, anak-anak, dan individu dengan kondisi cacat atau penyakit kronis yang memerlukan perawatan lanjutan) dan mengidentifikasi implikasi untuk keperawatan, termasuk:

1) tanggapan fisik dan psikologis terhadap bencana pada populasi rentan; dan

2) kebutuhan khusus dan risiko tinggi populasi rentan yang berhubungan dengan bencana tersebut.

b. Menciptakan lingkungan yang memungkinkan populasi rentan beraktivitas seefektif mungkin.

c. Mengidentifikasi sumber daya yang ada, membuat arahan yang sesuai dan bekerja sama dengan organisasi yang melayani populasi rentan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya.

d. Mengimplementasikan asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan populasi rentan yang terkena dampak bencana. 

e. Berkonsultasi dengan anggota tim perawatan kesehatan untuk memastikan perawatan lanjutan dalam memenuhi kebutuhan perawatan khusus.

 

10. Pemulihan jangka panjang individu, keluarga dan masyarakat.

a. Pemulihan Individu dan Keluarga

1) Mengembangkan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan fisik dan psikologis jangka pendek dan jangka panjang untuk korban yang selamat.

2) Mengidentifikasi perubahan kebutuhan korban dan memperbarui rencana perawatan sesuai kebutuhan.

3) Memberikan wawasan kepada individu dan keluarga untuk pencegahan penyakit.

4) Membantu proses rehabilitasi fasilitas perawatan kesehatan setempat.

5) Berkolaborasi dengan komunitas perawatan kesehatan yang ada untuk melakukan perawatan kesehatan.

6) Berfungsi sebagai penasehat bagi korban yang selamat dalam memberikan masukan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang.

 

b. Pemulihan Masyarakat

1) Mengumpulkan data yang terkait dengan tanggap bencana untuk melakukan evaluasi.

2) Berpartisipasi dalam analisis data yang berfokus pada peningkatan kesiapsiagaan dalam mengatasi bencana.

3) Membantu masyarakat dalam melakukan transisi dari fase tanggap bencana/keadaan darurat melalui pemulihan dan rehabilitasi ke fungsi normal.

4) Membagikan informasi tentang sumber rujukan dan sumber daya yang digunakan dalam bencana.

5) Membantu mengembangkan strategi pemulihan yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

6) Berkolaborasi dengan kelompok dan lembaga yang tepat untuk membangun kembali layanan kesehatan di masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ahmadi, Abu, 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Ahayalimudin et al. (2012). Disaster management : a study on knowledge, attitude and practice of emergency nurse and community health nurse. BMC Public Health 12 (Suppl2)A3.

 

Alwasilah, A. Chaedar, 2002. Pokoknya Kualitatif : Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda.

 

Awang, San Afri, 1995. Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Program IDT: Studi Kasus Tipologi Desa Hutan di Kabupaten Madiun. Dalam Mubyarto (ed.), Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Aditya Media.

 

Azizah et al. (2015). Pengalaman Perawat Dalam Melakukan Penilaian Cepat Kesehatan Kejadian Bencana Pada Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Kelud Tahun 2014 di Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu Keperawatan Vol 3. No. 2

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2011) . Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Standardisasi Kebencanaan

BKKBN. (2011). Kategori keluarga sejahtera.  Jakarta: BKKBN Retrieved from http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/BatasanMDK.aspx.

 

BNPB. (2016). Panduan teknis fasilitator.  Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB.

 

Boatright, C., & McGlown, K. J. (2005). Homeland security challenges in nursing practice. Nursing Clinic of North America, 40, 481-97.

 

Chapman K. &Arbon P. (2008). Are nurses ready? Disaster preparedness in the acute setting. Australasian Emergency Nursing Journal, 11: 135-144.

 

Cole, F. L. (2005). The role of the nurse practitioner in in disaster planning and response.Nursing Clinic of North America, 40, 511-521.

 

Depkes. (2007). Panduan teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.  Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 

Duong K. Disaster education and training of emergency nurses in South Australia. Australasian Emergency Nursing Journal, 12 (3): 86-92.

 

Fritsch, K., & Zang, Y. (2009). The asia pasific emergency and disastenursing network: Promoting the safety and resilience of communities.

 

Fung, O. W. M., Loke, A. Y., & Lai, C. K. Y. (2008). Disaster preparedness among Hongkong nurses. Journal of Advanced Nursing, 62, 698-703.

 

Humanitarian Country Team Indonesia, Indonesia Contingency Plan. October 14, 2011. http://www.humanitarianresponse.info/system/files/documents/files/Contingency%20Plan.pdf

 

Ibrahim, F. (2014). Nurses Knowledge, Attitudes, Practices and Familiarity Regarding Disaster and Emergency Preparedness – Saudi Arabia. AJNSAmerican Journal of Nursing Science, 18-18.

 

Indonesian Disaster. (2010). Natural disaster in Indonesia; Information page about natural disaster happened in Indonesia region and related link. Retrieved April 13, 2010, from http://indonesiandisaster.blogspot.com/

 

International Nursing Coalition for Mass Casualty Education [INCMCE]. (2003). Educational competencies for registered nurses to mass casualty incident. Retrieved October 15, 2009, from http://www.aacn.nche.ed/Education/pdr/INCMCECompetencies.pdf

 

Kuntz, S. W., Frable, P., Qureshi, K., & Strong, L. L. (2008). Association of community health nursing educators: Disaster preparedness white paper for community/public health nursing educators. Public Health Nursing, 25, 362-69.

 

 

Manitoba Health. (2000). Disaster management model for the health sector, Guideline for Program Development (pp. 12): Manitoba Health. 

 

Minami, H. Young-Soo, S. (2009). ICN Framework of Disaster Nursing Competencies.c 2009 World Health Organization and International Council of Nurses. ISBN 978-92- 95065-79- 6

 

Moabi R.M. (2008). Knowledge, attitudes and practices of health care workers regarding disaster Preparedness At Johannesburg Hospital in Gauteng

 

Morgan, O. W., Sribanditmongkol, P., Perera, C., Sulasmi, Y., Van Alphen, D., & Sondorp, E. (2006). Mass fatality management following the South Asian Tsunami disaster: Case studies in Thailand, Indonesia, and Sri Lanka. PLoS Medicine, 3, 0809-15. Z.

 

PERKA. (2008). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 tahun 2008: Pedoman penyusunan rencana penanggulangan bencana.  Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

 

PERKA. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 tahun 2012: Pedoman umum desa/kelurahan tangguh bencana Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana 

 

PERKA. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 tahun 2012: Pedoman umum pengkajian resiko bencana.  Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

 

PERMENKES. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.  Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 

 

PERMENKES. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan.  Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 

Polivka, B. J., Stanley, S. A. R., Gordon, D., Taulbee, K., Kieffer, G., & McCorkle, S. M. (2008). Public health nursing competencies for public health surge events. Public Health Nursing, 25, 159-65.

 

Province, South Africa published Master Thesis of Public Health. Student No:9212062N. Inc.doi: 10.1111/j.1525-1446.2009.00825.x

 

PPKK. (2014). Rencana Aksi Kegiatan Penanggulangan Krisis Kesehatan tahun 2015-2019.  Jakarta: Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan.

 

Polivka, B. J., Stanley, S. A. R., Gordon, D., Taulbee, K., Kieffer, G., & McCorkle, S. M. (2008). Public health nursing competencies for public health surge events. Public Health Nursing, 25, 159-65.

 

Putra A et al. (2011). Perceived Ability to Practice in Disaster Management among Public Health Nurses in Aceh, Indonesia. Nurse Media Journal of Nursing, 1 (2): 169 -186

 

Pustadinmas BNPB. (2015). Info Bencana : Informasi Kebencanaan Teraktual Edisi Februari 2015. Badan Nasional Penanggulangan Bencana

 

Qureshi, K., & Gebbie, K. M. (2007). Disaster Management. In T. G. Veenema (Ed.), Disaster Nursing and Emergency Preparedness for Chemical, Biological, and Radiological Terrorism and Other Hazard 2nd ed., pp. 137-New York: Springer Publishing Company.

 

Rogers, B., & Lawhorn, E. (2007). Disaster preparedness: Occupational and environmental health professionals; response to Hurricanes Katrina and Rita. AAOHN Journal, 55, 197-207.

 

Savage, C., & Kub, J. (2009). Public health and nursing: A natural partnership. International Journal of Environmental Research and Public Health, 6, 2843-48.

 

 

Southeast Asian Journal of Tropical Medicine Public Health, 40, 71-78.

 

Stanley, J. M. (2005). Disaster competency development and integration in nursing education. Nursing Clinics of North America, 40, 453-67.

 

Syamsul Maarif, 2013. Pikiran dan gagasan: penanggulangan bencana di Indonesia. Jakarta. BNPB

 

Syamsul Maarif, (2013). Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh. Jakarta. BNPB

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana (2007).

 

UNISDR. (2016) . 2015 disaster in numbers. Centre for Research on the Epidemiology of Disaster (CRED), Universite Catholique De Louvain, Belgium. Tersedia pada laman http://www.unisdr.org/files/47804_2015disastertrendsinfographic.pdf

 

Vogt, V., & Kulbok, P. A. (2008). Care of Client in Disaster Settings Community Health Nursing: Advocacy for Population Health (5th ed., Vol. 2, pp. 759-800). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

 

World Health Organization [WHO]. (2005). Guidelines on disaster management, A compilation of expert guidelines on providing healthcare. Sri Langka.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT

ETIKA PENELITIAN